Rabu, 15 April 2009

REFLEKSI HARI KARTINI; PEREMPUAN BERMATA PENA

REFLEKSI HARI KARTINI; PEREMPUAN BERMATA PENA

Ibu kita Kartini
Putri sejati
Putri Indonesia
Harum namanya

Ibu kita Kartini
Pendekar bangsa
Pendekar kaumnya
Untuk merdeka

Itulah penggalan lirik lagu “Ibu Kartini” karya W.R Supratman yang sering dinyanyikan anak-anak TK. Begitu banyak kata yang mewakili untuk mengagumi dan mengenangkan jasa kartini. Tak ketinggalan juga berupa bangunan seperti yayasan dan sekolah Kartini yang didirikan oleh Van Da Venter, seorang tokoh politik etis. Sampai-sampai presiden Sukarno mengeluarkan Kepres (keputusan Presiden) Republik Indonesia No. 108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Ibu kita Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, 21 April untuk diperingati sebagai hari besar yang kemudian dikenal dengan “Hari Kartini”

Kita tidak setuju jika sejarah hanya membicarakan bahwa perempuan yang mencemaskan kondisi dan berjuang mengangkat keberadaan perempuan ke permukaan hanya ibu kita Kartini. Tidak. Masih banyak pahlawan perempuan lain yang patut diapresiasi perjuangannya: Cut Nyak Dien, Rahmah El-Yunusiyah, Cut Nyak Meutia, Rohana Kudus, dan masih banyak perempuan lain yang berjuang di balik tirai sejarah. Tanpa pernah tersingakap jelas. Akan tetapi, saat ini kita tidak sedang membahas kontoversi Ibu Kartini. Terlampau panjang perjalanan untuk menjangkau kepastian.

Kita ambil saja ‘itibar perjuangan beliau. Seperti kata bijak bestari “Peradaban hanya dihuni oleh orang-orang yang menghargai sejarah”. Mari kita menukik sepak terjang Ibu kita Kartini dalam membebaskan perempuan yang dalam sejarah disebutkan terbelenggu jaring-jaring adat pingitan akan kebebasan aktualisasi diri untuk memetik buah pelajaran. Meski tidak in, tapi mudah-mudahan menjadi stimulator untuk berbuat lebih baik.

Satu hal yang khas dari ibu kita Kartini: ia senantiasa menuliskan event, pemikiran dan suasana perasaannya di atas kertas. Makanya gagasan kartini tentang kemajuan perempuan sampai kepada kita. Sekali lagi, meski banyak surat-surat beliau yang diperdebatkan keabsahannya.

Penanya tajam. Bermata perenungan panjang atas kondisi pada saat itu. Kata yang tersusun menjadi kalimat adalah guratan emosi dan perasaannya. Melalui tulisannya kita mengetahui pemikiran beliau yang kritis dan cerdas. Dalam buku Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) diungkapkan bahwa beliau seorang yang menghargai pengobatan alternatif perdukunan, tapi sekaligus menyayangakan orang-orang yang mengikutinya. Ia paham kalau penyakit bukan disebabkan oleh arwah jahat yang bisa diusir dengan asap. Ia sempat berkeinginan melanjutkan studi kedokteran di Betawi. Keinginan tersebut kandas sebab ayahnya melarangnya.

Pada saat menjelang pernikahan, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Beliau menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi perempuan bumiputra kala itu. Dalam surat-suratnya disebutkan bahwa sang suami tidak hanya mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan, akan tetapi ia juga mendorong agar Kartni dapat menulis sebuah buku. Nah kelihatan sekali bukan, bahwa ibu kita Kartini bukanlah pengusung ulung feminis…?

Al-Qur’an sebagai inspirator tanpa cacat yang menginformasikan banyak hal, dunia dan segala ciptaannya yang agung, juga memberi isyarat kepada kita bahwa Allah mengajar manusia dengan perantaraan qolam – menulis dan membaca (al-‘Alaq: 4). Jadi sudah jelas berabad-abad yang lampau nafas menulis sudah dihembuskan.

Lagi-lagi kepada perempuan. Dari pernyatan-pernyataan di atas kita melihat bahwa dunia menulis tidak jauh dari dunia perempuan. Meski jasad terbelenggu, namun pemikiran akan dibebaskan oleh pedang bernama pena. Tulislah apa yang hendak ditulis. Sebab, kata yang sempat tertulis di atas kertas akan menjadi saksi sejarah atas apa yang telah kita lalui.

Pernahkan terlintas di benak kita untuk menuliskan bagaimana perasaan saat-saat pertama kita aqil-baligh...? menulis perasaan cemas: kita bukan anak kecil lagi yang terbebas dari dosa…? menulis saat-saat sulit menapaki kehidupan..? menulis segala percikan ide yang memanas…?

Pemikiran di atas kertas (buku) adalah ‘abadi’ yang memengaruh. Di atasnya ditancapkan tonggak kebijaksanaan yang dapat dirujuk oleh siapapun. Kita, perempuan, dapat mengumpul kekuatan dari menulis. Kekuatan yang hak.

Tapi tidak untuk menulis lepas kontrol seperti yang diperlihatkan penulis-penulis perempuan: Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Dinar Rahayu yang meraih kekuatan dan popularitasnya dengan tulisan yang beraroma eksploitasi tubuh perempuan dan menyoal tentang seksualitas belaka.

Na’uzubillahi min zalik.

Sebab, kata yang tertoreh juga menjadi bukti akan pengabdian kita kepada-Nya.

Ruang Pelita, Padangsidimpuan

250309: Saat matahari mulai naik sepenggalan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar